Merenungi pengalaman selama 30 tahun menjadi anggota Polri dan 4 tahun menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampailah pada suatu kesimpulan bahwa memerangi kejahatan, utamanya korupsi yang sudah dinilai sebagai extra ordinary crime tidak cukup hanya dilakukan secara represif saja.
Pada awal reformasi 1998, diyakini bahwa korupsi adalah sebagai penyebab keterpurukan bangsa, sehingga dengan niat dan semangat yang tinggi untuk memberantas korupsi dibentuklah KPK. Namun, perilaku korupsi bukannya berkurang, malah semakin merajalela dan nekad. Negeri ini bagaikan sedang dilanda wabah korupsi yang merambah di segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan saat ini undang-undang mengenai KPK mulai dikutak-kutik untuk direvisi dengan alasan sinkronisasi perundang-undangan, padahal dapat dirasakan adanya upaya mengurangi (baca: mengamputasi) kewenangan KPK. Wacana pembubaran KPK pun berulangkali dikumandangkan. Akankah KPK mengalami nasib seperti pendahulunya?
Tindak pidana korupsi merupakan fenomena gunung es yang hanya nampak di permukaan, sedangkan bongkahan es di bawahnya merupakan corruption hazards atau kerawanan korupsi dan potensi masalah penyebab korupsi yang jauh lebih besar porsinya dan tidak bisa ditangani secara penindakan (represif) saja, tetapi harus dicairkan melalui upaya memerangi korupsi dengan tindakan pencegahan (preventif) dan upaya penangkalan (preemtif) atau upaya melalui kegiatan penanganan pada hulu permasalahannya. Kegiatan ini tidaklah mungkin hanya dilakukan oleh KPK sendiri, akan tetapi harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa, termasuk mendorong aparat pemerintah untuk melakukan juga upaya preemtif sehingga korupsi dari waktu ke waktu akan berkurang dan pada akhirnya benar-benar lenyap dari persada pertiwi ini.
Memang negara sudah memiliki aparat penegak hukum dengan criminal justice system-nya, namun kenyataan menunjukkan bahwa perilaku aparat penegak hukum sendiri pun masih ada yang koruptif, terbukti masih banyaknya makelar kasus dan putusan-putusan hakim yang kontroversial, yang cenderung meringankan atau membebaskan pelaku korupsi. Putusan hakim Pengadilan Tipikor Bandung yang membebaskan terdakwa MM yang penyidikan dan penuntutannya oleh KPK, kemudian dalam Putusan Kasasi MA dijatuhi penjara 6 (enam) tahun, tersirat kecurigaan semacam itu. Pendeknya moral sebagian aparat penegak hukum telah terkontaminasi dengan paham pragmatisme yang banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat.
Di bidang ekonomi para pelaku bisnis cenderung “kongkalikong” dengan pemegang kekuasaan (birokrasi, baik eksekutif maupum legislatif) sehingga dana pembangunan ataupun pemasukan uang negara cenderung dimanipulasi oleh mereka yang bermoral koruptif di bidang ekonomi.
Di bidang politik sudah jelas nampak sekali moral koruptifnya dimana sulit membedakan antara political cost dengan money politics atau dengan alasan biaya politik para pelaku politik melakukan money politics. Kembali lagi masalah moral yang dikaitkan dengan sistem politik yang dipilih sangat tidak memihak upaya pemberantasan korupsi.